Gubernur Kalteng Sugianto Sabran Larang Warga Dayak Bawa Senjata Pusaka Saat Unjuk Rasa

Diposting pada

DETIKPONTIANAK.CO.ID, JAKARTA – Masyarakat dilarang untuk membawa senjata tajam atau pusaka khas Dayak seperti lunju, mandau, atau duhung saat unjuk rasa. Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengatakan hal tersebut merupakan upaya menjaga marwah dari benda-benda pusaka dan budaya Dayak Kalimantan Tengah.

“Menyampaikan aspirasi ataupun unjuk rasa dan sejenisnya adalah hak yang dilindungi Undang-Undang, apabila sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Membawa senjata tajam, terlebih itu benda-benda pusaka daerah, bukan pada tempatnya, dan bukan momentum yang relevan,” ujar Sugianto dalam keterangan tertulis, Minggu (15/10).

Sugianto mengatakan, benda atau senjata khas Dayak akan lebih arif dan bijak jika digunakan dalam acara-acara ritual adat maupun pameran kebudayaan. Sehingga, marwah dan kelestariannya tetap terjaga dan terhormat.

“Esensi dari penyampaian aspirasi adalah menyuarakan keinginan ataupun tuntutan, bukan mempertontonkan senjata-senjata khas Dayak yang sakral. Mari kita tempatkan pada rel yang tepat, kapan waktu dan momen yang relevan untuk menampilkan senjata atau benda pusaka kita,” tambahnya.

Menurut Sugianto, Kalteng didominasi suku Dayak, serta menjunjung tinggi falsafah Huma Betang yang mencerminkan kebersamaan dan persatuan meskipun berbeda suku dan agama, hidup rukun berdampingan, damai dalam keberagaman. Sehingga, jangan sampai ada stigma negatif bahwa warga Dayak adalah suku yang anarkis.

“Warga Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang terbuka, memaknai perbedaan sebagai suatu rahmat dan berkah, menjunjung tinggi adab dan kesantunan. Keluhuran budi warga Dayak umumnya, jangan sampai ada stigma bahwa warga Dayak Kalimantan Tengah adalah suku yang anarkis, hanya dikarenakan simbol-simbol yang kita pertontonkan bukan pada tempatnya” bebernya.

Tambah Sugianto, persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak selalu berjalan dengan baik. Terkadang timbul perbedaan pendapat antara pembuat kebijakan, pihak swasta, dan masyarakat yang menimbulkan riak-riak kecil.

Hal ini harus diselesaikan dengan penuh kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Sehingga, tidak menodai marwah dan adab yang telah dijunjung bersama.

“Demokrasi menghalalkan perbedaan pendapat dan saluran-saluran untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi itu telah disediakan ruang yang cukup dan dilindungi oleh Undang-Undang. Mari kita manfaatkan saluran itu dengan baik dan benar, tanpa menodai marwah adab dan budaya yang kita junjung tinggi bersama,” ujarnya.

Sugianto mengingatkan bahwa beberapa tahun yang lalu saat meresmikan Bandara Tjilik Riwut, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Kalteng merupakan miniatur keberagaman Indonesia. Oleh karena itu, menjaga hal baik tersebut merupakan tugas dari setiap masyarakat Kalteng.

“Stempel itu tentu tidak serta merta muncul begitu saja dari seorang Presiden, tentu dengan pencermatan yang komprehensif. Mari kita rawat keberagaman yang menjadi kekuatan kita, dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang ada, tanpa menodainya dengan sikap dan perilaku yang tidak sepantasnya kita lakukan, pada saat dan waktu yang tidak tepat, dan momentum yang tidak relevan” tambahnya.

Disinggung soal konflik Bangkal, Kabupaten Seruyan beberapa waktu lalu, Sugianto menegaskan akan berkirim surat resmi kepada Presiden Joko Widodo. Ia memohon untuk meninjau dan mengevaluasi izin HGU Perusahaan Besar Swasta (PBS) maupun HTI.

“Saya akan bermohon secara resmi kepada Presiden untuk mengevaluasi atau mencabut izin HGU PBS maupun HTI yang tidak merealisasikan plasma 20 persen untuk masyarakat sekitar. Tidak komitnya PBS maupun HTI dalam memberikan hak plasma bagi masyarakat, menjadi pemantik konflik antara masyarakat dan perusahaan,” pungkasnya.

Sumber : detiknews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *